MAROS, A1 MEDIA – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Maros menolak Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perlindungan, Pengakuan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat. Penolakan ini dilakukan lantaran para anggota dewan khawatir raperda tersebut dapat menimbulkan konflik di tengah masyarakat.
Ketua Komisi I DPRD Maros,M. Ikram Rahim, menjelaskan bahwa kekhawatiran muncul karena ditakutkan sebagian lahan yang diklaim sebagai tanah adat telah memiliki sertifikat resmi milik warga.
“Kebanyakan anggota DPRD Maros khawatir raperda ini justru memunculkan konflik di masyarakat karena bisa saja ada tumpang tindih klaim kepemilikan lahan,” ujarnya, Jumat (24/10/2025).
Selain itu, DPRD Maros juga menilai waktu pembahasan yang tersedia terlalu sempit karena sudah memasuki akhir tahun.
“Kita tolak raperda ini karena pembahasan berakhir di tanggal 30 November, sementara belum pembahasan, mengundang tim ahli dari perguruan tinggi dan belum ada fasilitasi ke biro Provinsi,” tambah M Ikram Rahim.
Raperda tersebut sejatinya telah diusulkan sejak 2023 oleh masyarakat adat dan selaras dengan visi-misi serta janji kampanye Bupati Maros Chaidir Syam.
Ikram memastikan bahwa meski ditolak pada tahun ini, pembahasan raperda bisa saja kembali dilanjutkan pada tahun 2026.
“Raperda ini tidak sejatinya ditolak. Bisa jadi tahun depan akan dibahas kembali ,” katanya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maros, Syukur, menyayangkan keputusan DPRD Maros tersebut.
Menurutnya, Raperda Masyarakat Hukum Adat sudah melalui proses panjang dan telah mendapat kajian dari Kantor Wilayah Hukum dan HAM.
“Sejak 2023 kami sudah berkoordinasi intensif. Drafnya bahkan sudah siap ditetapkan. Kami melihat DPRD Maros lemah dalam konsolidasi, sehingga pembahasan raperda ini terhenti,” kata Syukur.
Ia menambahkan, pihaknya akan segera membangun komunikasi dengan pihak eksekutif agar raperda tersebut bisa kembali masuk dalam pembahasan.
“Ini bagian dari janji kampanye Bupati Maros, jadi kami berharap pemerintah daerah menepati komitmennya terhadap masyarakat adat,” ujarnya.
Senada, dengan bung Safar Selaku Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara Maros Menegaskan “Sudah terlalu lama kita bersabar, Sudah terlalu banyak janji yang menguap seperti embun pagi. Kita melihat tanah-tanah leluhur terancam, hutan-hutan kita diklaim, mata air kita dikhawatirkan mengering. Semua karena satu hal: pengakuan dan perlindungan hukum yang tak kunjung datang.”
Ia menghela napas panjang, tatapannya menyapu wajah-wajah di depannya – wajah-wajah tua yang lelah namun penuh kebijaksanaan, wajah-wajah muda yang bersemangat namun juga gelisah.
“Jika Ranperda AMAN Maros ini tidak segera dibahas kembali,” tegas Safar, suaranya naik satu oktaf, mengandung gema ancaman yang bukan gertakan kosong, “maka kami, Barisan Pemuda Adat Nusantara Maros, akan turun melakukan aksi! Ini bukan sekadar tuntutan, ini adalah seruan keadilan. Ini bukan sekadar ancaman, ini adalah janji untuk membela hak-hak kita sampai titik darah penghabisan!”
Bagi mereka, Ranperda ini bukan sekadar lembaran hukum, melainkan penentu masa depan. Perlindungan terhadap bentangan karst purba yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati, sungai-sungai yang mengalirkan kehidupan, dan sawah-sawah menghijau yang menghidupi ribuan jiwa. Tanpa pengakuan hukum, semua itu rentan digerus oleh kepentingan korporasi dan pembangunan tanpa batas.
Safar tahu, jalan di depan tak akan mudah. Mengguncang birokrasi yang tertidur lelap memerlukan lebih dari sekadar kata-kata. Ia membutuhkan kesatuan, keberanian, dan semangat membara dari setiap anggota BPAN dan seluruh masyarakat adat.
Pesan itu jelas dan lantang: Waktu kian menipis. Jika pintu dialog tak dibuka, jika meja perundingan tak digelar kembali, maka jalanan Maros akan menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat adat yang tak mau lagi diinjak-injak. Safar dan BPAN Maros siap memimpin barisan, karena bagi mereka, adat bukan fosil yang hanya dikenang, melainkan denyut nadi kehidupan yang harus terus diperjuangkan.











