A1 MEDIA – 97 tahun adalah rentang waktu yang panjang. Sejak 28 Oktober 1928, gaung Sumpah Pemuda telah menjadi denyut nadi, penanda bahwa ada kekuatan dahsyat dalam persatuan dan visi kaum muda. Tiga ikrar suci – satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa – bukan sekadar barisan kata, melainkan manifesto keberanian, idealisme, dan kemauan untuk melampaui sekat-sekat demi sebuah identitas kolektif: Indonesia.
Namun, di tengah gemuruh perayaan, refleksi mendalam tak terhindarkan: Bagaimana peran pemuda Indonesia hari ini, hampir satu abad setelah Sumpah Pemuda diikrarkan? Apakah kita masih menjadi garda terdepan perubahan, pewaris sah semangat 1928? Atau, ironisnya, kita terperangkap dalam pilihan yang memilukan: menjadi “badut” atau “budak” di panggung kehidupan berbangsa?
Jebakan “Badut”: Khiasan di Panggung Digital
Pemuda “badut” adalah mereka yang hadir, namun absen dalam substansi. Mereka lincah di panggung-panggung digital, piawai menciptakan tren, dan fasih dalam bahasa populer, namun seringkali hampa makna. Peran mereka seolah terbatas pada hiburan, penarik perhatian, atau sekadar “pemanis” dalam narasi besar yang digerakkan oleh kepentingan lain.
Kita melihatnya dalam fenomena “influencer” yang lebih sibuk memamerkan gaya hidup daripada menyuarakan empati sosial; dalam “aktivis” media sosial yang suaranya nyaring di permukaan namun mudah padam tanpa pijakan data dan analisis mendalam; atau dalam politikus muda yang lebih gemar membangun citra personal daripada menawarkan solusi konkret. Mereka menjadi komoditas, objek tontonan yang menghibur, yang sorot lampunya mengikuti ke mana pun arus like dan share mengalir. Keberanian mereka diukur dari viralitas, bukan dari integritas atau dampak nyata.
Pemuda badut, tanpa sadar, menjadi alat propaganda, corong buzzer politik, atau sekadar pengisi kekosongan yang membuat kita tertawa sejenak, namun tak pernah benar-benar merasa tersentuh atau tercerahkan. Mereka ada, ramai, namun esensinya nihil.
Jebakan “Budak”: Terjebak dalam Pusaran Algoritma dan Struktur Kuasa
Di sisi lain, jebakan “budak” lebih mengerikan. Pemuda “budak” adalah mereka yang kehilangan agensi, terpaksa atau terbuai dalam sistem yang mengeksploitasi tenaga, pikiran, bahkan waktu mereka untuk keuntungan pihak lain. Mereka adalah pekerja gig economy yang terjebak upah minim tanpa jaring pengaman sosial; buruh digital yang menyumbangkan data dan kreativitasnya tanpa kesadaran akan nilai sebenarnya; atau mahasiswa yang terdidik untuk menjadi followers dan pekerja patuh, bukan pemikir kritis dan inovator.
Pemuda budak adalah mereka yang energinya disedot habis oleh tuntutan hidup yang keras, tekanan sosial, atau jeratan konsumerisme. Mereka bekerja keras, mungkin lelah, namun seolah tak punya pilihan selain mengikuti alur yang sudah ditentukan. Mereka adalah “pasar” yang empuk bagi tren komersial, “suara” yang mudah dimobilisasi dalam kampanye politik tanpa pemahaman mendalam, atau “tenaga” murah yang siap dikerahkan untuk membangun mimpi orang lain.
Mereka menjadi korban sistem, terasing dari identitas sejati mereka sebagai agen perubahan. Idealisme luntur, digantikan pragmatisme yang dipaksakan. Rasa memiliki terhadap bangsa memudar, digantikan oleh kepasrahan atau bahkan sinisme.
Melampaui Dichotomy: Kembali ke Esensi Sumpah Pemuda
Sumpah Pemuda menuntut kita untuk menjadi lebih dari sekadar badut atau budak. Ia menuntut kita untuk menjadi pemimpin – pemimpin bagi diri sendiri, bagi komunitas, dan bagi bangsa. Pemimpin yang tidak hanya berani bicara, tetapi juga berani bertindak dengan visi yang jelas dan integritas yang tak tergoyahkan.
Untuk keluar dari bayang-bayang badut dan budak, pemuda Indonesia harus:
Mengasah Nalar Kritis dan Literasi Digital: Jangan mudah terbuai oleh headline atau tren. Verifikasi informasi, analisis konteks, dan berani mempertanyakan narasi dominan. Jadilah konsumen sekaligus produsen informasi yang bertanggung jawab.
Membangun Kemandirian dan Inovasi: Jangan pasrah menjadi objek pasar atau tenaga kerja murah. Kembangkan skill baru, berani berinovasi, dan ciptakan peluang bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain.
Memperkuat Solidaritas dan Kolektivitas: Semangat Sumpah Pemuda adalah persatuan. Bangun kembali jejaring solidaritas, kolaborasi lintas batas, dan gerakan yang berlandaskan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Jangan biarkan individualisme menggerogoti kekuatan kolektif kita.
Berani Menyuarakan Kebenaran dan Beraksi Nyata: Idealismenya tidak cukup hanya diucapkan. Salurkan ke dalam aksi nyata, advokasi kebijakan, atau gerakan sosial yang memberikan dampak positif. Berani berdiri di garis depan untuk membela keadilan dan keberlanjutan.
Menjadi Pewaris dan Pembaharu: Hormati sejarah dan nilai-nilai luhur bangsa, namun jangan takut untuk terus berinovasi dan beradaptasi dengan tantangan zaman. Jaga warisan, namun juga ciptakan masa depan.
97 tahun adalah momentum refleksi. Ini bukan hanya tentang mengenang, tapi tentang meneguhkan kembali jalan. Pertanyaan “antara badut dan budak?” adalah sebuah cermin tajam bagi kita. Jawaban ada di tangan kita, para pemuda hari ini. Akankah kita memilih menjadi sekadar bayangan yang menari di pentas orang lain, atau berpasrah pada rantai kekuasaan yang tak terlihat? Atau akankah kita memilih untuk menjadi “pemuda” sejati, seperti yang diikrarkan 97 tahun lalu: berdaulat atas pikiran, tindakan, dan masa depan bangsa ini? Pilihan itu, menentukan arah Indonesia ke depan.
Penulis : Riyan Restu Hidayat (Social Worker And Legal Consultants)











